Kaidah-Kaidah
Penting dalam Ittiba’ (Mengikuti Sunnah Rasulullah)
Dalam ber-ittiba’, yaitu meneladani dan
mencontoh tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, terdapat beberapa kaidah
penting yaitu:
1.
Agama Islam dibangun di atas wahyu dan dalil yang shahih, bukan akal dan
pendapat
Maka
jika datang suatu perintah ataupun larangan dari Kitabullah atau sunnah
(hadits) Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam, wajib bagi menerimanya dan
bersegera untuk menerapkannya dengan melaksanakan perintah atau menjauhi
larangan. Oleh karena itu dahulu para salaf rahimahumullah berjalan mengikuti
nash-nash. Mereka menghukumi seseorang di atas jalan yang benar selama dia
mengikuti atsar.
baca selengkapnya
Zuhri
berkata, “Risalah datangnya dari Allah, kewajiban Rasul Shallallahu’alaihi
Wasallam adalah menyampaikan dan kewajiban kita adalah menerimanya.”
Ketika
menjelaskan perkataan Ath-Thahawi, “Telapak kaki Islam tidak akan tegak kecuali
di atas permukaan menerima dan pasrah.” Ibnu Abil ‘Izz berkata, “Yaitu tidak
akan kokoh keislaman seseorang yang tidak menerima dan tunduk kepada nash-nash
al-Kitab dan as-Sunnah, tidak menolaknya dan tidak mempertentangkannya dengan pendapat,
akal dan logikanya.”
2.
Wajib bagi seorang Muslim untuk mencari tahu tentang hukum syar’i dan
memastikannya sebelum mengamalkannya di dalam semua urusan hidupnya
Karena
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
((
مَنْ
عَمِلَ
عَمَلاً
لَيْسَ
عَلَيْهِ
أَمْرُنَا
فَهُوَ
رَدٌّ
))
“Barangsiapa
melakukan suatu amalan yang tidak ada perkara (tuntunan-pen) kami padanya maka
tertolak.”
Asy-Syathibi
berkata, “Setiap orang yang mencari sesuatu yang tidak disyariatkan di dalam
beban-beban syariat (ibadah-pen), berarti dia telah menyelisihi syariat. Dan
setiap orang yang menyelisihi syariat, amalan dia di dalam penyelisihan itu
adalah batil (sia-sia). Maka barangsiapa mencari sesuatu yang tidak
disyariatkan di dalam beban-beban syariat, berarti amalannya juga batil.”
Alangkah
indahnya perkataan seorang khalifah yang lurus, Ali radhiallahu’anhu, ketika
dia berkata, “Janganlah kalian mengikuti sunnahnya orang-orang (yang masih
hidup –pen). Karena sesungguhnya ada seseorang yang melakukan amalan ahli surga
kemudian dia berbalik lalu melakukan amalan ahli neraka sehingga dia mati dan
termasuk ahli neraka. Dan sesungguhnya ada seseorang yang melakukan amalan ahli
neraka kemudian dia berbalik – karena Allah mengetahui tentangnya – lalu dia
melakukan amalan ahli surga sehingga dia mati dan termasuk ahli surga. Dan jika
kalian memang harus melakukannya (mengikuti suatu sunnah –pen), maka hendaknya
terhadap orang-orang yang telah wafat, bukan yang masih hidup.” Beliau
mengisyaratkan kepada Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat beliau
yang mulia.
Dan
juga perkataan Abu Zinad, “Sesungguhnya sunnah-sunnah dan sisi-sisi kebenaran
banyak yang datang menyelisihi akal. Maka mau tidak mau kaum muslimin harus
mengikutinya. Di antaranya, bahwa seorang wanita haidh mengganti puasa namun
tidak mengganti shalat.”
3.
Maksud dari ittiba’ kepada Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam adalah mengamalkan
segala ajaran yang beliau bawa.
Baik
yang ada di dalam Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah Ta’ala kepada beliau,
maupun berupa perintah maupun larangan, dan juga mengamalkan sunnah yang suci.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
أَلاَ
إِنِّي
أُوتِيتُ
الْكِتَابَ
وَمِثْلَهُ
مَعَهُ
أَلاَ
إِنِّي
أُوتِيتُ
الْقُرْآنَ
وَمِثْلَهُ
مَعَهُ
“Ketahuilah,
sesungguhnya aku diberi al-Kitab bersama dengan yang semisalnya. Ketahuilah,
sesungguhnya aku diberi al-Kitab bersama dengan yang semisalnya.”
‘Atha
berkata, “Mentaati Rasul adalah dengan mengikuti al-Kitab dan as-Sunnah.”
Al-‘allamah
As-Sa’di berkata, “Sesungguhnya wajib bagi seluruh hamba untuk berpegang dan
mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam, tidak halal
menyelisihinya. Dan sesungguhnya pernyataan Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam sama dengan pernyataan Allah Ta’ala di dalam memberikan hukum. Maka
tidak ada keringanan ataupun alasan bagi seorangpun untuk meninggalkannya. Dan
tidak boleh mendahulukan perkataan seseorang atas perkataan beliau Shallallahu’alaihi
Wasallam.”
4.
Ibadah-ibadah yang ditinggalkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan tidak
beliau lakukan padahal ada sebab yang menuntutnya pada zaman beliau, maka
melakukannya adalah bid’ah sedangkan meninggalkannya adalah sunnah
Seperti
perayaan maulid Nabi, menghidupkan malam Isra’ Mi’raj, merayakan tahun baru
hijrah serta yang semisalnya. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam,
((
مَنْ
عَمِلَ
عَمَلاً
لَيْسَ
عَلَيْهِ
أَمْرُنَا
فَهُوَ
رَدٌّ
))
“Barangsiapa
melakukan suatu amalan yang tidak ada perkara (tuntunan-pen) kami padanya maka
tertolak.”
Imam
Malik rahimahullah berkata, “Apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu,
maka pada hari ini juga bukan merupakan agama.”
Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata, “Meninggalkan sesuatu secara terus-menerus
adalah sunnah, sebagaimana perbuatan yang terus-menerus adalah sunnah.”
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “Adapun ahlussunnah wal jama’ah, mereka berkata
bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak tetap dari para sahabat
radhiallahu’anhum adalah bid’ah. Karena seandainya baik, tentunya mereka telah
mendahului kita melakukannya.”
5.
Segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia di dalam pokok-pokok dan
cabang-cabang agama, di dalam urusan dunia dan akhirat, yang berupa ibadah dan
muamalah, dalam keadaan damai ataupun perang, dalam masalah politik atau
ekonomi, dan seterusnya, maka syariat telah menjelaskan dan menerangkannya.
Sumber
:
http://alhilyahblog.wordpress.com/
0 kritik dan saran:
Posting Komentar