Sekilas Tentang Lakon Wayang
Pengertian
lakon
Pertunjukan
wayang kulit purwa, lazim disebut pakeliran. Jika orang melihat sebuah
pertunjukan wayang, sebenarnya yang dilihat adalah pertunjukan lakon. Oleh
karena itu, kedudukan lakon dalam pakeliran sangat penting sifatnya. Melalui
garapan lakon, terungkap nilai-nilai kemanusiaan yang dapat memperkaya
pengalaman kejiwaan.
Dikalangan
pedalangan pengertian Lakon sangat tergantung dengan konteks pembicaraannya.
Lakon dapat diartikan alur cerita, atau judul cerita, atau dapat diartikan
sebagai tokoh utama dalam cerita (Kuwato dalam Murtiyoso. 2004).
baca selengkapnya
Selain
itu lakon merupakan salah satu kosakata bahasa Jawa, yang berasal dari kata
laku yang artinya perjalanan atau cerita atau rentetan peristiwa (Murtiyoso.
2004). Jadi lakon wayang adalah perjalanan cerita wayang atau rentetan
peristiwa wayang. Perjalanan cerita wayang ini berhubungan dengan tokoh-tokoh
yang ditampilkan sebagai pelaku dalam pertunjukan sebuah lakon. Kemudian di
dalam sebuah cerita wayang akan muncul permasalahan, konflik-konflik dan
penyelesaiannya ini terbentang dari awal sampai akhir pertunjukan (jejer sampai
dengan tancep kayon) dengan wujud kelompok unit-unit yang lebih kecil yang
disebut adegan. Unit adegan yang satu dengan adegan yang lain, saling terkait,
baik langsung maupun yang tidak langsung membentuk satu sistem yang disebut
lakon.
Judul
lakon
Judul
lakon adalah suatu nama untuk menunjuk rentetan peristiwa tertentu. Fungsinya
sebagai pembatas atau pembeda antara satu kelompok peristiwa, dengan kelompok
peristiwa yang lain. Hal ini tampak jelas apabila judul lakon itu merupakan
suatu bagian dari cerita besar, misalnya, cerita perang Baratayudha. Peristiwa
kepergian Kresna ke Hastina sebagai duta dibatasi dalam judul Kresna Duta,
peristiwa tampilnya Bisma ke medan perang sampai gugur, dibatasi dengan judul
Bisma Gugur, begitu seterusnya.
Meskipun
lakon yang dipentaskan adalah lakon carangan (Lakon carangan, adalah merupakan
lakon yang digubah dari lakon pokok, yang kenudian dikembangkan sendiri. Bahkan
bisa diurai lagi, menjadi cerita-cerita yang lain lagi), tetapi lakon itu tentu
dikaitkan dengan suatu kehidupan tokoh wayang dalam episode tertentu. Misalnya,
lakon carangan ‘Parta Krama’ (Kisah Arjuna merebut Sumbadra), dalam pakeliran
tradisi gaya keraton Yogyakarta, dibuat menjadi berseri, yakni Srikandi Maguru
Manah, Abimanyu Lahir, Sumbadra Larung. Sedangkan lakon carangan ‘Parta Krama’
diambil dari Kakawin Sumbadra Wiwaha, yang merupakan bagian dari Adiparwa.
Pertumbuhan
dan Perkembangan Lakon
Lakon
wayang sudah diketahui sejak tahun 907 seperti yang tersurat dalam prasasti
Balitung (Zoetmulder. 1983). Dari isi prasasti Balitung dapat diketahui bahwa
kedua epos besar yang berasal dari India yaitu wiracarita Mahabarata dan
Ramayana telah dipertunjukkan pada masa itu.
Akan
tetapi dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia, epos Mahabarata dan
Ramayana ini oleh para pujangga atau genius lokal telah dimodifikasi sedemikian
rupa (penambahan dan perubahan) dalam kurun waktu yang sangat panjang untuk
diselaraskan dengan situasi dan kondisi nilai budaya setempat. Oleh karena itu
terdapat banyak hal yang tidak kita dapatkan dalam epos Mahabarata dan Ramayana
yang “asli”, seperti misalnya tokoh Pancawala. Tokoh Pancawala ini di Indonesia
adalah hasil perkawinan antara Drupadi dan Puntadewa, padahal dalam Mahabarata
India kita ketahui Drupadi kawin dengan ke lima Pandawa dan dari hasil
perkawinan itu lahirlah seorang anak laki-laki.
Tokoh
punakawan yaitu, Semar, Gareng, Petruk dan Bagong ternyata juga tidak
didapatkan dalam epos India itu. Demikian juga lakon-lakon carangan termasuk
sinkretisme (percampuran antara cerita Ramayana dan Mahabarata di dalam lakon
pedalangan Jawa), juga tidak diketahui dalam cerita Ramayana dan Mahabarata
yang asli.
Banyak
sumber lakon wayang purwa menjelaskan (Murtiyoso. 2004), bahwa Prabu
Dharmawangsa Teguh, seorang raja yang bertahta di Jawa Timur (tahun 997-1007)
menterjemahkan beberapa bagian dari Ramayana dan Mahabarata yang berbahasa
Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuna atau Kawi dalam bentuk prosa, diantaranya
adalah,
a. Utarakanda di
antaranya berisi cerita tentang leluhur Dasamuka, Dasamuka Lahir, Arjuna
Sastrabahu, dan cerita tentang Dewi Shinta.
b. Adiparwa di
antaranya berisi cerita Dewi Lara Amis, Bale Sigala-gala, Arimba Lena, Peksi
Dewata, Kala Rahu (Rambu Culung atau terjadinya gerhana matahari), dan cerita
lahir-lahiran termasuk perkawinan Arjuna dan Sumbadra.
c. Subhaparwa berisi
cerita Pandawa Dadu
d. Wirathaparwa berisi
cerita Jala Abilawa dan Wirarha Parwa
e. Udyagaparwa di
antaranya berisi cerita Kresna Gugah
f. Bismaparwa berisi
cerita Bisma Gugur dan lain-lain (Poerbatjaraka, 1952)
Raja-raja
Jawa yang lain setelah Prabu Dharmawangsa Teguh, setelah raja Kediri,
Majapahit, Demak, Kartasura, dan Surakarta, banyak menghasilkan karya-karya
sastra, diantaranya lakon-lakon wayang, seperti misalnya, lakon Kresna Kembang
di ambil dari Kitab Kresnayana; lakon Ciptoning dari Kitab Arjunawiwaha; lakon
Dasarata Lahir diambil dari Kitab Sumanasantaka; Betara Gana Lahir diambil dari
Smaradahana, dan lain sebagainya.
Judul-judul
lakon yang bersumber dari serat-serat seperti yang telah disebutkan, dan
diantaranya masih dipentaskan oleh para dalang sampai sekarang. Namun sampai
kurun waktu tertentu, wujud lakon di dalam pakeliran yang meliputi teknis
pakeliran, alur lakon, bangunan lakon maupun garap lakonnya, baru dapat
memperoleh gambaran, setelah munculnya pakem pedalangan-pedalangan di awal
tahun 1930-an untuk panduan para siswa pedalangan, yang diprakarsa oleh Keraton
Surakarta, Yogyakarta dan Mangkunegaran. Wujud pakeliran pada setiap generasi,
sebelum dan sesudah adanya pakem, selalu mengalami perubahan, baik bentuk
maupun isinya.
Pada
masa seputar kemerdekaan penyelenggaraan pertunjukan wayang terkait erat dengan
kegiatan ritual, seperti suran, sedhekah bumi, sandranan dan semacamnya, maka
lakon-lakon wayang yang beredar waktu itu – kecuali lakon-lakon lama yang telah
ada – juga lakon-lakon ruwatan seperti Sudamala, Tudhungkala, Murwakala, Babat
Wanamarta, Udan Mintaya dan lain-lain. Selain itu pertunjukan wayang juga
digunakan untuk menyertai hajat yang berhubungan dengan daur hidup manusia,
seperti mitoni, kelahiran, tetakan atau supitan, perkawinan, nyewu, dan
sebagainya. Untuk hajat perkawinan lakon-lakon yang ditampilkan, adalah
lakon-lakon raben, diantaranya Parta Krama, Wisanggeni Krama dan sejenisnya,
juga untuk berbagai macam hajatan keluarga seringkali dipentaskan lakon jenis
wahyu. Lakon-lakon wahyu ini, juga beredar di masyarakat pedalangan, misalnya,
Makutharama, Purba Kayun, Trimanggala, Cangkir Gadhing, dan lain-lain.
Kemudian
pada perkembangannya muncul lakon-lakon baru yang disebut lakon carangan, dan
ketentuan-ketentuan tersebut masih berlaku dan dimainkan oleh para dalang
hingga saat ini. Pada perkembangannya kemudian dari hasil wawancara diperoleh
keterangan bahwa hampir semua dalang mengaku, pernah menyusun, menggubah dan
atau mencipta lakon. Lahirnya lakon-lakon carangan ini merupakan ekspresi
seniman dalang yang terpacu oleh faktor internal dan eksternal untuk memenuhi
tuntutan jaman, karena lakon-lakon yang telah ada kemungkinan tidak lagi dapat
menampung permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakatnya (Murtiyoso.
2006).
Penggolongan
jenis lakon
Penggolongan
jenis lakon wayang kulit purwa, dapat digolongkan menurut jenisnya, misalnya
jenis wahyu, raben, lahir, mukswa dan lain-lain. Tujuan dari penggolongan jenis
lakon yang dimaksudkan, adalah untuk memahami karakteristik lakon, yang
sebelumnya (Murtiyoso. 2006) mengalami kesulitan dalam menggolongkan jenis
lakon tersebut. Karena beragamnya lakon-lakon wayang yang diantaranya
disebabkan adanya tumpang tindihnya alur, maka jenis lakon digolongkan
berdasarkan judul-judul lakon dan peristiwa terpenting yang terjadi dalam suatu
kelompok lakon. untuk mempermudah penggolongannya (Murtiyoso dan Suratno. 1992)
Penggolongan
berdasarkan judul lakon dapat digolongkan menjadi jenis lahiran, raben,
alap-alapan, gugur atau lena, mbangun, jumenengan, wahyu, nama tokoh, banjaran
dan duta. Sedangkan penetapan jenis lakon berdasarkan peristiwa terpenting yang
terjadi dalam suatu kelompok lakon, antara lain jenis paekan, kraman, asmara,
wirid, ngenger, kilatbuwanan, perang ageng, dan boyong. Selanjutnya secara
singkat akan diuraikan masing-masing jenis lakon yang digolongkan berdasarkan
kedua criteria itu berikut ciri pokok dengan contohnya (Mutiyoso, dkk. 2004)
Penggolongan
Berdasarkan Judul Lakon (Mutiyoso, dkk. 2004)
1. Jenis lahiran: ciri
pokok lakon jenis lahiran adalah, bahwa dalam lakon ini terjadi kelakiran
seorang tokoh wayang. Contoh: Setyaki Lahir, Abimanyu Lahir, Wisanggeni Lahir
dan lain-lain.
2. Jenis raben: seperti
halnya lakon jenis lahiran, di dalam lakon jenis raben atau krama ini terjadi
perkawinan atau krama seorang tokoh wayang. Contoh: Parta Krama, Rabine
Gathotkaca, Palasara Krama, Irawan Rabi, dan sejenisnya.
3. Jenis alap-alapan:
dalam jenis alap-alapan ini, ceritanya terjadi perebutan putri raja diantara
para satria atau raja dari berbagai tempat, misalnya, alap-alapan Sukesi,
Alap-alapan Dursilawati, Alap-alapan Setyaboma, dan sejenisnya. Mirip dengan
lakon alap-alapan ini adalah lakon dengan judul sayembara, misalnya, Sayembara
Kasipura, Gandamana Sayembara, dan Sayembara Mantili.
4. Jenis gugur atau
lena: dalam lakon jenis ini terdapat meninggalnya seorang tokoh, misalnya
Abimanyu Gugur, Gathotkaca Gugur, Salya Gugur, Dasamuka Lena, Kangsa Lena dan
lain-lain.
5. Jenis mbangun: ciri
pokok lakon jenis mbangun adalah adanya kegiatan pembangunan suatu tempat,
misalnya mBangun Taman Maerakaca, mBangun Candi Saptarengga, Semar mBangun
Gedhongkencana, Semar mBangun Klampis Ireng dan lain-lain.
6. Jenis jumenengan: di
dalam lakon jenis jumenengan, terjadi kegiatan atau peristiwa pengukuhan atau
penetapan seorang tokoh menjadi raja, misalnya Jumenengan Parikesit, Jumenengan
Puntadewa, Jumenengan Kakrasana dan sejenisnya.
7. Jenis wahyu: isi
pokok lakon jenis wahyu adalah peristiwa pemberian anugerah (wahyu) dari dewa
kepada tokoh wayang tertentu karena keberhasilan atau jasa tokoh tertentu ini
kepada dewa. Contoh: Wahyu Eka Bawana, Wahyu Trimanggala, Wahyu Payung
Tunggulnaga, dan sejenisnya.
8. Jenis nama tokoh:
ciri lakon wayang jenis nama tokoh yang dimaksudkan di sini adalah pertunjukan
lakon wayang yang diberi judul dengan hanya menyebut nama tokoh wayang, dan
nama tokoh ini, biasanya nama tokoh utama dalam peristiwa lakon. Misalnya:
Begawan Kilatbuwana, Begawan Lomana, Mayangkara, Begawan Ciptoning, Watugunung,
Begawan Dwihastha dan sejenisnya.
9. Jenis banjaran:
adalah penggabungan beberapa lakon yang menceritakan seorang tokoh dari lahir
sampai mati dalam satu kesatuan pentas. Contoh: Banjaran Bima, Banjaran Karna,
Banjaran Gatutkaca, dan sejenisnya.
10. Jenis duta: ciri
lakon jenis duta adalah adanya seorang tokoh wayang yang mendapat tugas menjadi
duta dari seorang raja agar dapat menyelesaikan suatu masalah. Contoh: Anoman
Dhuta, Kresna Dhuta, Drupada Dhuta, dan sejenisnya.
Penggolongan Jenis Lakon
berdasarkan Peristiwa Penting (Mutiyoso, dkk. 2004)
1. Jenis paekan: ciri
lakon jenis paekan adalah adanya rencana secara licik seseorang atau kelompok
tokoh wayang untuk mencelakakan tokoh wayang yang lain. Misalnya: Gandamana
Luweng, Gatutkaca Sungging, Kresna Cupu, Sinta Ilang, dan sejenisnya.
2. Jenis kraman: ciri
lakon jenis kraman adalah adanya peristiwa pemberontakan atau makar, baik
secara terang-terangan maupun terselubung. Misalnya: Brajadhenta mBalela,
Kangsa Adu Jago, dan Jagal Abilawa.
3. Jenis asmara: ciri
lakon jenis asmara adalah adanya kisah pokok tentang seorang tokoh yang jatuh
cinta dengan lawan jenisnya. Misalnya: Sumbadra Larung, Petruk Gandrung, Irawan
Maling, dan sejenisnya.
4. Jenis wirid: ciri
pokok lakon jenis wirid adalah mengisahkan seorang tokoh wayang yang
mendambakan hakekat kehidupan yang sempurna. Contohnya Kunjarakarna, Ciptaning,
Bimasuci dan sejenisnya.
5. Jenis ngenger: jenis
lakon ngenger ini mengisahkan adanya seorang tokoh wayang yang ingin
mengabdikan diri kepada suatu negara atau raja. Contoh: Sumantri Ngenger,
Wibisana Suwita, dan Trigangga Suwita.
6. Jenis kilatbuwanan:
yang digolongkan ke dalam jenis kilatbuwanan ini adalah lakon-lakon yang
memiliki ciri-ciri alur cerita mirip lakon Kilatbuwana. Adapun ciri-ciri itu
diantaranya adalah: adanya seorang pendeta di Astina yang sanggup membatalkan
perang Baratayuda dengan sarana membunuh tokoh penting yang berpihak kepada
Pandawa, seperti Kresna, Anoman, Semar beserta anak-anaknya. Tokoh-tokoh yang
akan dibunuh ini selalu terhindar dari kematian, dan beralih rupa menjadi
pendeta. Pendeta baru inilah yang dapat membuka kedok pendeta palsu di Astina
tersebut menjadi tokoh asli yaitu Guru, Durga, Rahwana atau Kala. Contoh:
Begawan Lomana, Begawan Warsitajati, Kresna Cupu dan sejenisnya.
7. Jenis perang ageng:
jenis lakon perang ageng adalah mengisahkan adanya tragedi perang besar serta
melibatkan tokoh-tokoh penting. Contohnya: Baratayuda (Pandawa melawan Kurawa),
Pamuksa (Tremboko melawan Pandu), Guntarayana (Ciptoning melawan Niwatakawaca)
Gojalisuta (Kresna melawan Bomanarakasura) dan sejenisnya.
8. Jenis boyong: ciri
lakon boyong adalah mengisahkan adanya perpindahan seseorang atau kelompok
tokoh wayang dari satu tempat ketempat lain. Contoh: Srimulih, Pendawa Boyong,
Sinta Boyong, Semar Boyong dan sejenisnya.
Sumber : http://wayangprabu.com/
1 kritik dan saran:
Las Vegas Casino and Hotel - Mapyro
Discover Las Vegas 아산 출장안마 Casino 당진 출장안마 and Hotel map, rates, amenities: expert Las 양주 출장마사지 Vegas research, only at 거제 출장마사지 Hotel and Travel 익산 출장안마 Index. Hard Rock Casino & Hotel.
Posting Komentar