Legenda Masjid Agung Demak - Cerita Rakyat Jawa
Tengah (Demak)
Masjid Agung Demak -
Menurut sejarah, masjid ini didirikan oleh Wali Songo secara bersama-sama
dalam waktu 1 (satu)
malam, masjid ini didirikan pada tahun 1399 saka (1447 M) yg ditandai oleh
candrasangkala (Lawang Trus Gunaningjami) sedang pada gambar bulus yg berada di
mihrab masjid ini terdapat lambang tahun 1401 saka yang menunjukan masjid ini berdiri
pada tahun 1479 M bangunan dari kayu jati ini berukuran 31 m x 31 m denga bagian serambi berukuran 31 m x 15 m
atap tengahnya ditopang oleh 4 (empat) buah tiang kayu raksasa (saka guru) yamg
dibuat empat wali diantara sembilan wali, saka sebelah tenggara adalah buatan
Sunan Ampel, saka sebelah barat daya buatan Sunan Gunung jati, sebelah barat
laut buatan Sunan Bonang dan sedangkan sebelah timur laut yang tidak terbuat
dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang
diikat menjadi satu (saka tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga.
baca selengkapnya
Serambinya dengan delapan buah tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada
zaman Adipati Yunus (Pati Unus atau pangeran Sabrang Lor), sultan Demak ke-2
(1518-1521 M) pada tahun 1520
Dalam proses
pembangunannya, Sunan Kalijaga memegang peranan yang amat penting. Wali inilah
yang berjasa membetulkan arah kiblat. Menurut riwayat, Sunan Kalijaga juga
memperoleh wasiat antakusuma, yaitu sebuah bungkusan yang konon berisi baju
hadiah dari Nabi Muhammad SAW, yang jatuh dari langit di hadapan para wali yang
sedang bermusyawarah di dalam masjid itu. Memasuki pertengahan abad XVII,
ketika kerajaan Mataram berdiri, pemberontakan pun juga mewarnai perjalanan
sejarah kekuasaan raja Mataram waktu itu.
Sejarah yang sama juga
melanda kerajaan Demak. Kekuasaan baru yang berasal dari masuknya agama Islam
ke tanah Jawa. Seorang Bupati putra dari Brawijaya yang beragama Islam
disekitar tahun 1500 bernama Raden Patah dan berkedudukan di Demak, secara
terbuka memutuskan ikatan dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi, dan
atas bantuan daerah-daerah lain yang telah Islam (seperti Gresik, Tuban dan
Jepara), ia mendirikan kerajaan Islam yang berpusat di Demak. Namun keberadaan
kerajaan Demak tak pernah sepi dari rongrongan pemberontakan. Dimasa
pemerintahan raja Trenggono, walau berhasil menaklukkan Mataram dan Singasari.
Tapi perlawanan perang dan pemberontakan tetap terjadi di beberapa daerah yang
memiliki basis kuat keyakinan Hindu. Sehingga daerah Pasuruan serta Panarukan
dapat bertahan dan Blambangan tetap menjadi bagian dari Bali yang tetap Hindu.
Pada tahun 1548 M, raja Trenggono wafat akibat perang dengan Pasuruan.
Kematian Trenggono menimbulkan perebutan
kekuasaan antara adiknya dan putranya bernama pangeran Prawoto yang bergelar
Sunan Prawoto (1549 M). Sang adik berjuluk pangeran Seda Lepen terbunuh di tepi
sungai dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh anak dari pangeran Seda
Lepen yang bernama Arya Panangsang. Tahta Demak dikuasai Arya Penangsang yang
terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul pemberontakan dan
kekacauan yang datangnya dari kadipaten-kadipaten. Apalagi ketika adipati
Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik
dari adipati japara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya
melakukan pemberontakan dalam bentuk gerakan melawan Arya Panangsang. Salah
satu dari adipati yang memberontak itu bernama Hadiwijoyo berjuluk Jaka
Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu Trenggono yang masih
ada hubungan darah dengan sang raja. Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang
Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh Arya Penangsang. Dan oleh karena
itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia menjadi raja pertama di Pajang.
Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan Islam Demak.
Masjid Agung Demak
merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid ini memiliki nilai
historis yang sangat penting bagi perkembangan Islam di tanah air, tepatnya
pada masa Kesultanan Demak Bintoro. Banyak masyarakat memercayai masjid ini
sebagai tempat berkumpulnya para wali penyebar agama Islam, yang lebih dikenal
dengan sebutan Walisongo (Wali Sembilan). Para wali ini sering berkumpul untuk
beribadah, berdiskusi tentang penyebaran agama Islam, dan mengajarkan ilmu-ilmu
Islam kepada penduduk sekitar. Oleh karenanya, masjid ini bisa dianggap sebagai
monumen hidup penyebaran Islam di Indonesia dan bukti kemegahan Kesultanan
Demak Bintoro.
Masjid Agung Demak
didirikan dalam tiga tahap. Tahap pembangunan pertama adalah pada tahun 1466 M.
Ketika itu masjid ini masih berupa bangunan Pondok Pesantren Glagahwangi di
bawah asuhan Sunan Ampel. Pada tahun 1477 M, masjid ini dibangun kembali
sebagai masjid Kadipaten Glagahwangi Demak. Pada tahun 1478 M, ketika Raden
Patah diangkat sebagai Sultan I Demak, masjid ini direnovasi dengan penambahan
tiga trap. Raden Fatah bersama Walisongo memimpin proses pembangunan masjid ini
dengan dibantu masyarakat sekitar. Para wali saling membagi tugasnya masing-masing.
Secara umum, para wali menggarap soko guru yang menjadi tiang utama penyangga
masjid. Namun, ada empat wali yang secara khusus memimpin pembuatan soko guru
lainnya, yaitu: Sunan Bonang memimpin membuat soko guru di bagian barat laut;
Sunan Kalijaga membuat soko guru di bagian timur laut; Sunan Ampel membuat soko
guru di bagian tenggara; dan Sunan Gunungjati membuat soko guru di sebelah
barat daya.
Luas keseluruhan
bangunan utama Masjid Agung Demak adalah 31 x 31 m2. Di samping bangunan utama,
juga terdapat serambi masjid yang berukuran 31 x 15 m dengan panjang keliling
35 x 2,35 m; bedug dengan ukuran 3,5 x 2,5 m; dan tatak rambat dengan ukuran 25
x 3 m. Serambi masjid berbentuk bangunan yang terbuka. Bangunan masjid ditopang
dengan 128 soko, yang empat di antaranya merupakan soko guru sebagai penyangga
utamanya. Tiang penyangga bangunan masjid berjumlah 50 buah, tiang penyangga
serambi berjumlah 28 buah, dan tiang kelilingnya berjumlah 16 buah.
Masjid ini memiliki
keistimewaan berupa arsitektur khas ala Nusantara. Masjid ini menggunakan atap
limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki. Atap limas ini berbeda
dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang lebih terbiasa dengan bentuk
kubah. Ternyata model atap limas bersusun tiga ini mempunyai makna, yaitu bahwa
seorang beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya:
iman, Islam, dan ihsan. Di samping itu, masjid ini memiliki lima buah pintu
yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lain, yang memiliki makna rukun Islam,
yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Masjid ini memiliki enam buah
jendela, yang juga memiliki makna rukun iman, yaitu percaya kepada Allah SWT,
malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari kiamat, dan
qadha-qadar-Nya.
Bentuk bangunan masjid
banyak menggunakan bahan dari kayu. Dengan bahan ini, pembuatan bentuk bulat
dengan lengkung-lengkungan akan lebih mudah. Interior bagian dalam masjid juga
menggunakan bahan dari kayu dengan ukir-ukiran yang begitu indah. Dan ada satu
keistimewahan satu buah tiang yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh
melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka
tatal). Bentuk bangunan masjid yang unik tersebut ternyata hasil kreatifitas
masyarakat pada saat itu.
Disamping banyak
mengadopsi perkembangan arsitektur lokal ketika itu, kondisi iklim tropis (di
antaranya berupa ketersediaan kayu) juga mempengaruhi proses pembangunan
masjid. Arsitektur bangunan lokal yang berkembang pada saat itu, seperti joglo,
memaksimalkan bentuk limas dengan ragam variasinya.
Masjid Agung Demak
berada di tengah kota dan menghadap ke alun-alun yang luas. Secara umum,
pembangunan kota-kota di Pulau Jawa banyak kemiripannya, yaitu suatu bentuk
satu-kesatuan antara bangunan masjid, keraton, dan alun-alun yang berada di
tengahnya. Pembangunan model ini diawali oleh Dinasti Demak Bintoro.
Diperkirakan, bekas Keraton Demak ini berada di sebelah selatan Masjid Agung
dan alun-alun.
Masjid Agung Demaki
terletak di desa Kauman, Demak, Jawa Tengah. Lokasi Masjid berada di pusat kota
Demak, berjarak ±26 km dari Kota Semarang, ±25 km dari Kabupaten Kudus, dan ±35
km dari Kabupaten Jepara. Masjid ini dipercayai pernah merupakan tempat
berkumpulnya para ulama (wali) penyebar agama Islam, disebut juga Walisongo,
untuk membahas penyebaran agama Islam di Tanah Jawa khususnya dan Indonesia
pada umumnya. Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu raja
pertama dari Kesultanan Demak. Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak,
terdapat beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak dan para abdinya. Di sana
juga terdapat sebuah museum, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat
berdirinya Masjid Agung Demak.
Masjid ini merupakan
cikal bakal berdirinya kerajaan Glagahwangi Bintoro Demak. Struktur bangunan
masjid mempunyai nilai historis seni bangun arsitektur tradisional khas
Indonesia. Wujudnya megah, anggun, indah, karismatik, mempesona dan berwibawa.
Kini Masjid Agung Demak difungsikan sebagai tempat peribadatan dan ziarah.
Penampilan atap limas piramida masjid ini menunjukkan Aqidah Islamiyah yang
terdiri dari tiga bagian ; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di Masjid ini
juga terdapat "Pintu Bledeg", bertuliskan "Condro
Sengkolo", yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, dengan makna tahun 1388
Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Prestasi Bulus
Raden Patah bersama
Wali Songo mendirikan masjid maha karya abadi yang karismatik ini dengan memberi
prestasi gambar bulus, ini merupakan condro sengkolo memet, dengan arti (seriro
sunyi kiblating kaulo gusti) yg bermakna pada tahun 1401 saka. gambar blus yg
terdiri dari kepala yg berarti angka 1 (satu) kaki empat berarti angka 4
(empat) dan badan bulus berarti angka 0 (nol) ekor bulus berarti angka 1
(satu), bisa disimpulkan bahwa Masjid Demak berdiri pada tahun 1401 saka
Soko MajaPahit
saka majapahit ini
berjumplah delapan yang terletak di serambi Masjid
benda purbakala hadiah
dari perabu brawijaya v (lima) raden kertabumi ini diberikan kepada raden patah
ketika menjadi Adi Pati noto projo di glagah wangi Bintoro Demak pada tahun
1475 M
Surya Maja Pahit
ini merupakan hiasan
gambar segi delapan
yang sangat populer
pada masa maja pahit
para ahli purbakala
menafsir, gambar ini sebagai lambang
kerajaan maja pahit
surya maja pahit yg berada di Masjid Agung demak dibuat pada tahun 1401 saka
atau 1479 M
Maksurah
merupakan artefak
bangunan berukir bangunan pada masa lampau
yang memiliki nilai
astetika yg sangat unik dan indah. karya seni ini mendominasi keindahan ruang,
artefak maksurah didalamnya bertuliskan arab yang artinya memulyakan ke esaan
Allah SWT
prasati didalam
maksurah terdapat ukiran anka pada tahun 1287 H
atau 1886 M dimana pada
saat itu Adi Pati Demak dijabat oleh K.R.M.A
(Aryo Purbaningrat)
sumber : http://www.jurirakyat.com/
0 kritik dan saran:
Posting Komentar