MUSIK
DALAM PANDANGAN ISLAM
Al
Faqih
Musik
merupakan adalah bagian dari seni dan budaya. Ia selalu identik dengan ekspresi
ruh manusia yang di dalamnya mengandung unsur-unsur estetika. Pada dasarnya,
Allah telah menganugerahkan potensi ini kepada setiap manusia, jadi mustahil
bagi manusia untuk menolak dan melarangnya.
Musik
yang Halal
Tulisan
ini akan diawali dengan beberapa dalil naqli yang menghalalkan musik dalam
perspektif Islam. Allah berfirman dalam Q. S. Al-Maidah ayat 87
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Q. S. Al-Maidah: 87)
Sebagian
ulama menjadikan ayat di atas sebagi hujjah mengenai kehalalan musik dalam
Islam. Musik merupakan adalah bagian dari seni dan budaya. Ia selalu identik
dengan ekspresi ruh manusia yang di dalamnya mengandung unsur-unsur estetika.
Pada dasarnya, Allah telah menganugerahkan potensi ini kepada setiap manusia,
jadi mustahil bagi manusia untuk menolak dan melarangnya.
Menurut
Dr. Muhammad Al-Bagdadi dalam bukunya, “Seni Dalam Pandangan Islam”, musik
adalah sebuah seni yang berkaitan erat dengan instrument-instrumen, irama, dan
nada-nada musik. Terlepas dari pengertian tersebut, musik tidak bisa dipisahkan
dengan unsur keindahan. Manusia sebagai makhluk Allah yang memiliki cita rasa
estetika yang tinggi pastinya akan sangat menikmati hal tersebut.
Islam
sebagai agama yang mencintai keindahan, pada dasarnya tidak mengharamkan musik,
dengan syarat, bahwa muatan-mauatan yang terkandung di dalamnya adalah positif,
kreatif, dan tidak bertentangan dengan etika agama, sosial, dan kemasyarakatan.
Secara historis, Nabi Muhammad saw. dalam beberapa haditsnya, menjelaskan
kebolehan atau kehalalan musik, seperti hadits dari Nafi’ r.a., ia berkata: Aku
berjalan bersama Abdullah Bin Umar r. a., dalam perjalanan kami mendengar suara
seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil
berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak.
Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan
Rasulullah saw.” (HR. Ibnu Abid Dunya dan Al-Baihaqi).
Atau
hadits dari Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra, dia berkata: Nabi saw. mendatangi
pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku,
lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka
menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba
salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi saw. yang
mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi saw. bersabda:
“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” (HR.
Bukhari)
Dalam
hadis lain disebutkan, dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Umar melewati
shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar
memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata: “Aku pernah bersyi’ir di
masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah
saw.).” (HR. Muslim, juz II, hal. 485).
Hadits-hadits
di atas menunjukkan, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. begitu peduli terhadap
sisi-sisi estetika yang terkandung dalam musik, sehingga beliau mengetahui
bahwa keindahan, seni, musik, dan budaya tidak dapat dipisahkan dari realitas
kehidupan manusia. Nabi Muhammad membolehkan umatnya untuk berekspresi dalam
segala lini kehidupan, dengan catatan bahwa ekspresi-ekspresi keindahan yang
ekplorasi oleh manusia wajib untuk tidak melewati norma-norma agama dan etika
masyarakat, serta tidak melailaikannya dalam menjalankan kewajiban, baik kepada
sesama manusia atau terhadap Allah Swt.
Sejarah
mencatat, ketika Nabi Muhammad saw. dan Abu Bakar berhijrah ke Madinah pada
tahun 622 Masehi, masyarakat Madinah menyambut kedatangan keduanya dengan
melantunkan beberapa syair dan nyayian yang hingga kini sangat populer di
kalangan umat Islam, yaitu; Thala’a al-badru ‘alaina. Min tsaniyat al-wada’i.
Wajabasy syukru ‘alainaa. Maa da’a lillaahi da’i. Ayyuha al-mab’utsu fina.
Ji’ta bil amril mutha’i. Pada waktu Rasullullah tidak melarang mereka untuk
terus melantunkan syair-syair di atas, bahkan Nabi Muhammad saw. ikut larut
dalam situasi tersebut, dengan kata Islam membolehkan musik-musik yang dapat
membuat manusia untuk lebih termotivasi, merasa lebih rindu lagi terhadap Allah
serta dapat mendorong kita semua ke arah yang lebih positif.
Jenis
Musik yang dilarang dalam Islam
Di
atas telah dijelaskan berbagai dalil tentang bolehnya bermain musik, maka dalam
pembahasan selanjutnya, penulis akan mengelaborasi jenis musik yang di larang
dalam Islam, tentunya dengan menggunakan berbagai macam argument yang berasal
dari Al-Qur’an dan hadits.
Secara
prinsipil, Islam menyeru kepada kebajikan dan melarang umatnya dari perbuatan
yang keji dan mungkar. Aktivitas apapun yang mengandung potensi atau
bibit-bibit kemaksiatan akan dilarang dan diharamkan oleh Allah, tidak
terkecuali dalam aktivitas bermusik. Secara eksplisit Allah dalam beberapa ayat
menyatakan bahwa perkataan atau syair yang tidak berguna, mengandung
unsur-unsur kecabulan dan dapat melalaikan manusia dari menjalankan kewajiban
primer mereka adalah haram untuk dilakukan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
SUMBER
:
http://artikelalfaqihwarsono.blogspot.com/
0 kritik dan saran:
Posting Komentar