GREBEG
SURO MASYARAKAT JAWA
Bagi
masyarakat Jawa, bulan Suro merupakan bulan istemewah. Selain bulan pertama
dalam kalender Jawa, bulan Suro juga dianggap sebagai bulan yang sangat
keramat. Untuk menyambut datang bulan istimewah ini masyarakat Jawa umumnya
akan mengadakan berbagai bentuk ritual dan perayaan yang bertujuan agar selalu
mendapatkan keberkahan dalam kehidupan dan dihindarkan dari berbagai
malapetaka.
baca selengkapnya
Masyarakat
Jawa selalu memandang datangnya bulan Suro sebagai datangnya masa-masa prihatin
dalam kehidupan manusia, dan sebagai pintu gerbang untuk masuk ke sebuah
keadaan yang baru. Karena itu sebagian besar masyarakat Jawa yang masih kental
memegang tradisi budayanya mereka selalu menjalankan laku prihatin, yang
bertujuan agar mendapatkan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Kuasa, agar bisa
menjalani hidup dengan baik.
Dalam
tradisi masayarakat Jawa ada keyakinan bahwa sukerta atau sengkala ini harus
diruwat atau dibersihkan. Bila tidak hal ini diyakini akan menjadi mangsa
Bhatara Kala. Yang mana bisa diartikan bahwa hidupnya akan senatiasa sengsara
karena selalu dibayang-bayangi oleh bencana.
Entah
benar atau tidak, kepercayaan tersebut hingga kini masih tetap dijalankan, dan
ritual ruwatan sebagai taradisi masyarakat Jawa. Dalam ritual ruwatan tersebut
biasanya akan digelar pertunjukkan wayang yang menceritakan tentang kisah hidup
Bhatara Kala dari lahir hingga akhirnya mati. Dan matinya Sang Bhatara Kala ini
dipandang sebagai simbol dibersihkannya sengkala dalam diri para peserta
ruwatan. Sehingga di waktu yang akan datang, mereka akan hidup dengan tenang,
tanpa ada rasa takut karena bayang-bayang bencana dari Bhatara Kala.
Puncak
dari acara ruwatan biasanya akan diikuti dengan pemotongan sebagian rambut dan
kuku dari peserta sebagai simbol dari kebersihannya atas kesialan dalam diri
mereka. Kemudian benda-benda itu dikumpulkan bersama pakaian yang dikenakan
untuk selanjutnya dilarung ke laut. Namun sebagian kalangan ada yang
berpendapat dan mempercayai bahwa melarung benda-benda tersebut juga dapat
dilakukan di sungai yang airnya mengalir cikup deras. Apa yang dilakukan dalam
prosesi ritual tersebut hanyalah simbol dari dibuangnya segala ssengkala dari
dalam diri seseorang.
Bentuk
lain ritual yang digelar masyarakat Jawa demi menyambut datangnya bulan Suro,
diantaranya adalah menjamas pusaka serta melarung berbagai macam sesaji di
tempat-tempat keramat yang dalam hal ini adalah Laut Selatan.
Ritual
di bulan Suro yang paling populer adalah larung sesaji ke Laut Selatanm. Yang
mana dalam ritual ini ada satu sosok yang menjadi tokoh sentral yaitu Nyi Roro
Kidul, yang mana dipandang sebagai sosok penguasa alam gaib di tanah Jawa.
Larung
sesaji sendiri tidak hanya dilakukan di satu tempat. Hampir setiap kelompok
masyarakat di pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa mengadakan acara ini. Hanya
saja bagi mereka berlaku waktu-waktu tertentu yang antara satu dengan yang lain
memiliki perbedaan.
Larung
sesaji yang paling tersohor dan selalu mencuri perhatian banyak orang, baik itu
wisatawan domestik maupun internasional adalah larung sesaji yang dilakukan di
Pantai Parangtritis Jogjakarta pada tanggal 1 Suro (kalender Jawa) atau 1
Muharam (kalender Islam).
Biasanya
ritual larung sesaji diprakarsai oleh pihak keraton Jogjakarta yang memiliki
kepentingan, mengingat dalam sejarah di ceritakan bahwa Panembahan Senopati
sang raja pertama bertemu dan mendapatkan bantuan Ratu Kidul di Pantai Selatan
daerah Jogjakarta.
Berbagai
persiapan dilakukan oleh pihak Keraton dalam melakukan upacara ritual yang akan
dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Persiapan-persiapan itu tidak lain yang
terkait dengan sesaji yang niatnyua akan dibuang ke tangah laut dan
diperebutkan oleh para pengunjung.
Larung
sesaji tersebut merupakan simbol dari hobi yang dilakukan masyarakat sekitar
pantai selatan pada Sang Penguasa alam gaib di sana, yang bertujuan agar
senantiasa bisa hidup berdampingan dengan damai. Sehingga aktifitas sebagai
nelayan bisa berjalan tanpa gangguan. Yang ujung-ujungnya rejeki semakin
bertambah, karena hasil tangkapan ikan di laut bisa berlimpah.
Hal
yang tidak kalah mistis sebagai penghormatan atas datangnya bulan Suro
(kalender Jawa) atau pun bulan Muharam (kalender Islam) masyarakat Jogja dan
solo memilki tradisi yang unik yaitu melakukan ritual tapa bisu sambil
mengelilingi benteng Keraton. Ritual ini digelar tapat pada malam 1 Suro, dan
diikuti oleh seluruh abdi dalam Keraton serta masyarakat di sekitar Keraton.
Khusus
untuk Kota Solo, rotual ini biasanya akan diikuti dengan kirab kerbau bule yang
dikeramatkan yang bernama Kyai Slamet. Prosesi ritual ini cukup sederhana
karena nyaris tidak memerlukan berbagai perlengkapan termasuk sesaji. Karena
inti dari ritual ini adalah intropeksi diri dan menyatu dalam keheningan malam
1 Suro (kalender Jawa) atau 1 Muharam (kalender Islam).
Ritual
biasanya akan dimulai tepat pukul 00.00, sebagai tanda telah masuk tanggal 1
Suro. Rombongan pelaku ritual akan berangkat dari halaman Keraton dan terus
menyusuri beberapa jalanan disekitar Keraton hingga mengitari seluruh tembok
benteng Keraton. Jumlah putaran mengelilingi benteng selalu ditetapkan dalam
bilangan ganjil, sebab jumlah ini dipandang memiliki nilai yang baik dan akan
membawa keberkahan.
Puncak
dari ritual ini adalah pada keesokkan harinya yaitu berebut berkah dari tumpeng
raksasa yang disediakan oleh pihak Keraton. Acara yang biasa disebut Gerebeg
Suro ini selalu menjadi perhatian banyak orang. Karena masyarakat Jawa yang
masih kental akan tradisi budayanya memiliki kepercayaan bahwa, barang siapa
yang berhasil mendapatkan sebagian dari sesaji tumpeng tersebut itu, maka akan
senantiasa dilimpahkan keberkahan dalam kehidupannya.
Suatu
hal yang menarik dalam acara ritual Grebeg Suro ini yang menjadi catatan
penulis dari masyarakat Jawa yang masih memegang tradisi budaya, yaitu bahwa
masyarakat diajarkan untuk selalu berbuat kebaikan dengan selalu bersedekah kepada setiap makhluk yang ada di alam semesta ini,
agar kehidupan dapat berjalan seimbang seiring sejalan antara manusia dan alam.
Dalam
catatan penulis, bahwa sang penguasa (raja) dengan kearifannya mengajak kepada
masyarakatnya untuk selalu menjalan perintah agama dengan melakukan shodaqoh
secara berjamaah, agar siapa yang terlibat dalam acara tersebut nilainya sama
di mata Tuhan. Dan kehidupan kepemerintahan pun berjalan secara damai, masyarakat
akan hidup dalam keberkahan. Suatu pembelajaran yang berarti dalam kehidupan,
dengan pengejawantahan kalam Illahi di setiap lubuk hati manusia.
Namun
terkadang masih banyak diantara kita yang selalu melihat hal ini hanya sebelah
mata, tanpa mau mau melihat apa yang tersirat dalam penyampaian suatu upacara
ritual yang sesungguhnya. Bahwasanya suatu tradisi budaya itu terdapat
pembelajaran budipekerti yang luhur atau dengan bahasa agamanya adalah akhlaq
mulia sebagai pegangan hidup.
Bila
kita dapat menikmati suasana perjalanan ritual ini, maka kita dapat merasakan
apa arti sebuah berbagi bersama tanpa harus meninggalkan suatu tradisi unsur
budaya yang eksotik bernilai religius.Melihat secara langsung betapa seorang
pemimpin berbaur bersama rakyatnya dan dapat memberikan kebahagian secara
langsung kepada masyarakatnya. Dan suasana ini hanya ada di Jogjakarta dan
Solo, Jawa Tengah Indonesia.
Sumber : http://ejawantahnews.blogspot.com/
0 kritik dan saran:
Posting Komentar