RAGAM
WAYANG DI NUSANTARA
Disajikan pada acara
Sarasehan dan Pergelaran Wayang Pakeliran padat dengan Lakon ‘Anoman Duta’ di
Berlin, Jerman
Wayang Beber
Dalam
bahasa Jawa, wayang berarti “bayangan”. Dalam bahasa Melayu disebut
bayang-bayang. Dalam bahasa Aceh: bayeng. Dalam bahasa Bugis: wayang atau
bayang. Dalam bahasa Bikol dikenal kata: baying artinya “barang”, yaitu “apa
yang dapat dilihat dengan nyata”. Akar kata dari wayang adalah yang. Akar kata
ini bervariasi dengan yung, yong, antara lain terdapat dalam kata layang –
“terbang”, doyong – “miring”, tidak stabil; royong – selalu bergerak dari satu
tempat ke tempat lain; Poyang-payingan “berjalan sempoyongan”, tidak tenang.
dan sebagainya.
baca selengkapnya
Selanjutnya
diartikan sebagai “tidak stabil”, tidak pasti, tidak tenang, terbang, bergerak
kian-kemari.. Jadi wayang dalam bahasa Jawa mengandung pengertian „berjalan
kian-kemari, tidak tetap, sayup-sayup (bagi substansi bayang-bayang). Oleh
karena boneka-boneka yang digunakan dalam pertunjukkan itu berbayang atau
memberi bayang-bayang, maka dinamakan wayang. Awayang atau hawayang pada waktu
itu berarti „bergaul dengan wayang, mempertunjukkan wayang.. Lama kelamaan
wayang menjadi nama dari pertunjukan bayang-bayang atau pentas bayang-bayang.
Jadi pengertian wayang akhrnya menyebar luas sehingga berarti “pertunjukan
pentas atau pentas dalam arti umum.
Fungsi
semula pertunjukan wayang adalah sebagai upacara religius untuk pemujaan kepada
nenek moyang bagi penganut kepercayaan “Hyang” yang merupakan kebudayaan
Indonesia asli. Kemudian berkembang hingga digunakan sebagai media komunikasi
sosial yang dapat bermanfaat bagi perkembangan masyarakat pendukungnya. Sebab
lakon cerita wayang merupakan penggambaran tentang sifat dan karakter manusia
di dunia yang mencerminkan sifat-sifat dan karakter manusia secara khas,
sehingga banyak yang tersugesti dengan penampilan tokoh-tokohnya. Maka
terjadilah pergeseran fungsi sebagai media penyebaran agama, sarana pendidikan
dan ajaran-ajaran filosofi Jawa. Saat ini pergeseran fungsi semakin nyata hanya
sebagai sebuah hiburan. Namun untuk masalah tersebut tidak akan dibicarakan di
sini, sebab dalam makalah ini hanya akan menguraikan tentang ragam wayang yang
berkembang di Nusantara atau Indonesia pada khususnya.
Di
Indonesia, terutama di pulau Jawa, terdapat sekitar 40an jenis wayang, yang
sebagian di antaranya sudah punah. Beberapa jenis di antaranya masih dikenal
atau masih dipertunjukkan dalam pergelaran-pergelaran wayang, dan tetap
mendapat dukungan masyarakat hingga kini.
Wayang Sadat
Berdasarkan Asal Usul
Pertanyaan yang muncul
adalah dari mana asal wayang?
Apakah benar-benar
hasil kreasi orang Jawa atau pengaruh kebudayaan Hindu? Memang ada beberapa
pendapat yang mengakatakan bahwa wayang merupakan hasil kreasi kebudayaan
Hindu. Namun setelah diadakan penelitian secara seksama, ternyata wayang adalah
hasil kreasi atau kebudayaan asli orang Jawa (bangsa Indonesia). 3) Menurut
pendapat Dr. G.A.J. Hazeu dalam disertasinya tahun 1897, mengupas secara ilmiah
tentang pertunjukan wayang kulit dan meneliti istilah-istilah sarana
pertunjukkan wayang kulit, yaitu wayang, kelir, blencong, krepyak, dalang,
kotak dan cempala. Istilah-istilah tersebut di atas hyanya terdapat di pulau
Jawa. Jadi, bahasa Jawa asli. Kecuali kata cempala (-capala, berasal dari
bahasa Sanskerta). Pokok pikirannya untuk membuktikan asal wayang (kulit) harus
dicari dari bahasa asal, dari mana datangnya istilah alat-alat atau sarana
pentas yang digunakan dalam pertunjukan pertama kalinya pada jaman kuno atau
semenjak pertunjukan itu masih sangat sederhana. 4)
Hazeu pun mengungkapkan
bahwa pada jaman raja Erlangga permulaan abad ke sebelas, wayang telah
dipertunjukkan di kerajaan Kediri yang saat itu mengalami kejayaan.
Ragam
Wayang di Nusantara
Menurut S. Haryanto
(1988: 41-142) wayang dapat dibagi menjadi 8 jenis yang terdiri dari beberapa
ragam, yaitu:
1. Wayang Beber
Termasuk
bentuk wayang yang paling tua usianya dan berasal dari masa akhir zaman
Majapahit di Jawa. Wayang dilukiskan pada gulungan kertas beserta
kejadian-kejadian atau adegan-adegan penting dalam cerita dimaksud.
Pertunjukkannya dilakukan dengan pembacaan cerita dan peragaan gambar-gambar
yang telah dilukiskan.
2. Wayang Purwa
Wujudnya
berupa wayang kulit, wayang golek, atau wayang wong (orang) dengan
mempergelarkan cerita yang bersumber pada kitab Mahabaratha atau Ramayana.
Istilah purwa itu sendiri dari pendapat para ahli dinyatakan berasal dari kata
„parwa. yang merupakan bagian dari cerita Mahabharata atau Ramayana. Selain
itu, di kalangan masyarakat Jawa, kata purwa sering diartikan pula dengan purba
(jaman dahulu). Oleh karena itu, wayang purwa diartikan pula sebagai wayang
yang menyajikan cerita-cerita jaman dahulu (purwa). Jenis wayang purwa itu
sendiri ragam, yaitu :
a. Wayang Rontal (939)
:
b. Wayang Kertas (1244)
c. Wayang Beber Purwa
(1361)
d. Wayang Demak (1478)
e. Wayang Keling (1518)
f. Wayang Jengglong
g. Wayang Kidang
Kencana (1556)
h. Wayang Purwa Gedog
(1583)
i. Wayang (Kulit Purwa)
Cirebon
j. Wayang (Kulit Purwa)
Jawa Timur
k. Wayang Golek (1646)
l. Wayang Krucil atau
Wayang Klithik (1648)
m. Wayang Sabrangan
(1704)
n. Wayang Rama (1788)
o. Wayang Kaper
p. Wayang Tasripin
q. Wayang Kulit Betawi
atau Wayang Tambun
r. Wayang Golek Purwa
s. Wayang Ukur
t. Wayang Dolanan
(Mainan)
u. Wayang Batu atau
Wayang Candi (856)
v. Wayang Sandosa
w. Wayang Wong (Orang)
(1757-1760)
3. Wayang Madya
Berusaha
menggabungkan semua jenis wayang yang ada menjadi satu kesatuan yang berangkai
serta disesuaikan dengan sejarah Jawa sejak beberapa abad yang lalu sampai
masuknya agama Islam di Jawa dan diolah secara kronologis. Penggabungan
tersebut mengakibatkan terciptanya jenis wayang baru yang menggambarkan dari
badan tengah ke atas berwujud wayang purwa, sedangkan dari badan tengah ke
bawah berwujud wayang gedog. Wayang Madya ini memakai keris dan dibuat dari
kulit, ditatah dan disungging.
4. Wayang Gedog
Arti
kata „gedog. sampai sekarang masih belum dapat ditemukan dengan pasti. Para
sarjana barat , gedog ditafsirkan sebagai kandang kuda (bahasa Jawa: gedogan =
kandang kuda). Dalam bahasa Kawi, gedog berarti kuda. Sementara pendapat lain
menyatakan bahwa „gedog. itu merupakan batas antara siklus wayang purwa yang
mengambil seri cerita Mahabharata dan Ramayana dengan siklus cerita Panji. Ada
pula yang menafsirkan bahwa kata gedog berasal dari suara „dog, dog. yang
ditimbulkan dari ketukan sang dalang pada kotak wayang di sampingnya.
Namun
hingga kini belum dapat yang melanjutkan penelitian, mengapa kata gedog
tersebut digunakan untuk suatu jenis wayang. Ada pula yang menyatakan bahwa
wayang gedog mirip dengan wayang purwa.
Bentuk
seni rupa wayang gedog terbuat dari kulit yang ditatah dengan sunggingan yang
serasi mengambil pola dasar wayang kulit Purwa jenis satria sabrangan. Busana
kain berbentuk rapekan dengan menyandang keris. Hanya empat jenis muka dengan
mulut gusen seperti muka tokoh wayang purwa Dursasana, muka dengan mata
kedondongan seperti muka tokoh wayang Setiyaki, muka bermata jahitan seperti
muka tokoh wayang Arjuna dan muka berhidung dempok seperti muka tokoh wayang
Wrekudara. Untuk tokoh wanita sama halnya dengan tokoh-tokoh wayang putri purwa
lainnya.
Bentuk
atribut untuk satria pada umumnya bersumping sekar kluwih dengan rambut terurai
lepas. Jenis wayang gedog terdiri dari dua ragam, yaitu:
a. Wayang Klithik
b. Langendriyan
5. Wayang Menak
Wayang Menak ini
terbuat dari kulit yang ditatah dan disungging sama halnya seperti wayang kulit
purwa. Sedangkan wayang Menak yang dibuat dari kayu dan merupakan wayang golek
disebut Wayang Tengul.
Dalam pementasan wayang
menak dijumpai dua macam bentuk wayang, antara lain yang berupa wayang golek
dan kulit. Pementasan wayang menak di Jawa Tengah pada umumnya menggunakan
wayang golek menak. Sedangkan pementasan wayang kulit menak ini menggunakan
kelir dan blencong, sama halnya dengan pementasan wayang kulit purwa, hanya
pakemnya berdasarkan pakem Serat Menak.
Bentuk wayang kulit
menak ini secara keseluruhan dapat dikatakan serupa dengan wayang purwa, hanya
raut muka wayang-wayang ini hampir menyerupai raut muka manusia biasa.
Tokoh-tokoh wayang dalam cerita tersebut mengenakan sepatu dan menyandang
klewang, sedangkan tokoh-tokoh raja memakai baju dan keris.
6. Wayang Babad
Merupakan
penciptaan wayang baru setalah wayang Purwa, Madya dan Gedog yang pementasannya
bersumber pada cerita-cerita babad (sejarah) setelah masuknya agama Islam di
Indonesia antara lain kisah-kisah kepahlawanan dalam masa kerajaan Demak dan
Pajang. Wayang ini disebut sebagai wayang Babad atau wayang Sejarah. Dalam
jenis wayang ini dapat disebutkan antara lain:
a. Wayang Kuluk (1830)
b. Wayang Dupara
c. Wayang Jawa (1940)
7. Wayang Modern
Ketika
wayang-wayang purwa, madya dan gedog sudah tidak sesuai lagi untuk keperluan
yang khusus, maka untuk kebutuhan masyarakat akan sarana komunikasi sosial
dengan media wayang semakin meningkat, maka diciptakanlah wayang baru lagi yang
dapat memadai faktor-faktor komunikasi tersebut.
a. Wayang Wahana (1920)
b. Wayang Kancil (1925)
c. Wayang Wahyu (1960)
d. Wayang Dobel
e. Wayang Pancasila
(1960)
f. Wayang Sejati (1972)
g. Wayang Budha
h. Wayang Jemblung
i. Dalang Jemblung
j. Dalang Kentrung
k. Wayang Sadat (1985)
8. Wayang Topeng
Wayang
ini ditampilkan oleh seorang penari yang mengenakan topeng yang diciptakan
mirip dengan wayang purwa dengan corak tersendiri yang disesuaikan sebutan nama
daerah tempat topeng tersebut berkembang. Sehingga sebutannya seperti di bawah
ini :
a. Topeng Malang
b. Topeng Dalang Madura
c. Wayang Topeng (Jawa)
d. Topeng Cirebon
e. Topeng Losari
f. Topeng Wayang Betawi
g. Topeng Bali
Berdasarkan Cerita
Cerita yang digunakan
dalam pementasan wayang sangat beragam. Lakon wayang yang biasa dan sudah lebih
dikenal masyarakat banyak adalah Mahabharata dan Ramayana. Jenis wayang yang
menggunakan cerita tersebut antara lain: wayang kulit (Palembang, Sunda,
Betawi, Jawa, Bali, dan Banjar), golek (Sunda), wayang wong, dan wayang
jemblung. Yang termasuk dalam jenis penggolongan wayang purwa.
Wayang madya (Jawa)
menggunakan unsur “cerita sesudah zaman purwa”, yang mengisahkan para raja Jawa
yang dianggap keturunan Pandawa. Wayang gedog, wayang kliltik, dan wayang beber
(ketiganya dari Jawa), juga wayang gambuh dan wayang cupak dari Bali,
melakonkan cerita Panji.
Wayang kulit menak,
golek menak (keduanya dari Jawa) dan wayang sasak, menceritakan kisah Amir
Hamzah. Wayang dobel (jawa) menceritakan cerita-cerita Islam; wayang wahyu
(Jawa): kisah-kisah Injil; wayang calonarang (Bali): kisah zaman Airlangga;
wayang cepak (Jawa-Sunda): cerita Raja Menak (Amir Ambyah) dan babad tanah
Jawi; wayang pakuan (Sunda); babad Pasundan; wayang dangkluk (bali): kisah
Galuh-Daha; wayang langendria (Jawa); kisah Damarwulan; dan wayang topeng, pada
berbagai suku, dengan berbagai cerita.
Masih banyak lagi jenis
wayang lainnya yang disinggung dalam buku-buku wayang, seperti wayang dakwah,
wayang kidang kencana, wayang suluh, wang pancasila, wayang keling, wayang
elung, dan wayang kancil. Kini di Bali, ditemukan pula jenis wayang yang baru yang
disebut wayang tantri (cerita binatang) dan wayang golek gede, yang merupakan
hasil eksplorasi seorang mahasiswa pedalangan dari ASTI Denpasar (kini STSI).
Berdasarkan Cara
Pementasan
Pada awalnya, wayang
berfungsi sebagai alat “penghadiran kembali” (secara umum dalam seni rupa
dikenal istilah yang hampir sama, yaitu visualisasi) gambaran nenek moyang.
Meskipun bentuk upacara penghadiran nenek moyang tidak digunakan lagi dalam
pementasan wayang, sisa kegiatan tersebut masih tampak, misalnya dalam upacara
ngaruwat/ngruwat) ketika memulai pertunjukkan. Bentuk pertunjukkan kuno tadi
tercatat juga dalam perkembangan teater bayangan (shadow play) di Cina. (Xuemin
and Maozhen, t.th.)
Gambaran tersebut
hampir sama dengan yang diperkirakan oleh para penulis wayang tentang
pementasan wayang kulit kuno Indonesia, yang pada awalnya digunakan untuk
menghormati roh nenek moyang. Cara mementaskan wayang kulit masa kini, meski
bukan untuk “menghadirkan bayang nenek moyang”, hampir sama dalam pola
pertunjukannya, yaitu bentuk wayang yang dinikmati bayangannya dalam kelir
(layar) dihasilkan oleh sinar blencong, cempor, atau bahkan lampu pijar.
Seperti yang dipaparkan
oleh Ismunandar, wayang kulit mulai lengkap seperti yang kita lihat sekarang
ini sejak tahun 1541, yaitu zaman Panembahan Senopati di Mataram. Selanjutnya
disebutkan bahwa yang berjasa melengkapinya adalah Sunan Kalijaga. Yang
dilakukan oleh Sunan Kalijaga antara lain, melengkapi kelir (layar tampilan),
blencong (lampu penerang pembentuk bayangan wayang pada kelir)/pemakaian
plangkan (tempat meletakkan wayang, dari batang pohon pisang atau gedebok) dan
menambah laras pelog. Sedangkan gunungan atau kayon adalah kelengkapan lain
yang dibuat oleh Raden Patah (Sultan Sah Alam Akbar), raja Demak (Ismunandar,
1988).
Bentuk pementasan lain
adalah dengan membeberkan gambar wayang yang dibuat di atas kulit kayu, kertas,
maupun bahan papar lainnya. Pada kedua sisi bidang gambar dipasang dua buah
tiang penggulung. Dalang menceritakan isi gambar wayang dengan cara membeberkan
gulungan gambar tersebut. Pementasan wayang ini dikenal dengan sebutan wayang
beber.
Wayang beber ini kini
hanya tinggal sisa peninggalan masa lalu saja. Tempat yang tercatat masih
menyisakan tinggalan ini antara lain Komering, Sumatera Selatan (di sini wayang
jenis ini disebut wayang warahan) dan Pacitan, Jawa Timur (Ismunandar, 1988).
Pementasan wayang pada
mulanya hanya dilakukan malam hari. Hal ini berkaitan dengan sifat pementasan
wayang yang menitikberatkan tampilan bayangan pada kelir. Baru pada abad ke-16,
pertunjukkan diadakan pula pada siang hari. Bentuk wayang yang dipertontonkan
berbeda. Wayang jenis ini memiliki bentuk trimarta, berupa boneka kayu, yang
disebut golek.
Wayang golek pertama
ini dibuat oleh Sunan Kudus dipentaskan dengan cerita Wong Agung (Ismunandar,
1988).
Wayang klithik atau
wayang krucil merupakan wayang boneka kayu, tetapi berbeda dari golek. Wayang
klithik berbentuk pipih, lebih dekat kepada bentuk wayang kulit. Raja Brawijaya
V menciptakannya sekitar tahun 1315. Raut tokoh-tokohnya merupakan hasil tiruan
raut wayang beber, yang ditampilkan dengan cerita Keraton Jenggala, Kediri,
Urawan, Singasari, dan Majapahit. Wayang ini selanjutnya diperbaharui oleh
Sunan Bonang (Ismunandar, 1988). Untuk mementaskannya tidak diperlukan kelir
seperti pada wayang kulit, tetapi seperti memainkan golek.
Wayang lain yang juga
terbuat dari bahan kayu adalah wayang dangkluk. Cara pementasannya sangat
khusus. Wayang ini digantungkan pada empat utas kawat yang direntangkan
melintasi panggung. Yang mempertunjukkannya adalah dua orang dalang yang
masing-masing berada di sisi panggung (Guritno, 1988).
Pertunjukan wayang yang
disebutkan di atas semuanya menggunakan wayang (terbuat dari kulit, kayu,
maupun berbentuk gambar).
Wayang orang, wayang
topeng, wayang langendria, dan wayang jemblung, pemainnya adalah orang, penari,
bukan boneka atau pun gambar wayang. Pementasannya sama dengan sandiwara
lainnya, hanya saja memakai kelengkapan pewayangan (pakaian, musik, tari, dan
cerita).
Berdasarkan Bahan
Pembuatannya
Mengelompokkan wayang
berdasarkan bahan pembuatannya hanya akan menyangkut jenis wayang yang berupa
boneka dan gambar. Bahan tersebut, secara garis besar terdiri atas bahan
dwimatra dan trimatra. Bahan papar yang biasa digunakan adalah kertas, kain,
karton, dan kulit. Bahan sejenis lainnya seperti seng (ada yang mencoba membuat
wayang seng yang hasilnya tersimpan sebagai salah satu koleksi Museum Wayang Jakarta
Kota) dan serat kaca, misalnya, mungkin digunakan dalam pengembangan pembuatan
wayang dwimatra. Bahan pejal berupa kayu bulat-torak dimanfaatkan untuk
membentuk jenis wayang trimatra.
Wayang kulit, seperti
sebutannya, dibuat dari kulit. Jenis wayang yang terbuat dari kulit ini antara
lain wayang kulit purwa (Sunda, Jawa), wayang madya, wayang gedog, wayang
dupara, wayang jawa, wayang dobel, wayang kulit menak, wayang wahyu (Jawa),
wayang Ramayana, wayang parwa, wayang gambuh, wayang cupak, dan wayang
calonarang (Bali). Juga wayangsasak (Sasak), wayang betawi (Betawi), wayang
banjar (Banjar), dan wayang Palembang (Palembang).
Jenis wayang kulit ini
dibuat dengan cara tatah-sungging. Kulit hewan, bisa kulit sapi, kerbau, atau
kambing, hasil samakan dijadikan sebagai bahan pokok dalam membuat wayang
kulit. Kulit kerbau merupakan kulit yang lazim digunakan karena bila dibandingkan
dengan kulit sapi, memiliki kekuatan tarik, kemu-luran, dan suhu kerut yang
lebih baik. Sementara itu, kulit kambing, karena terlalu tipis, hanya digunakan
untuk pembuatan wayang kulit hiasan (Sagio dan Samsugi, 1991).
Jenis wayang yang
dibuat di atas beberan kertas, kain, atau bahan sejenis lainnya, disebut wayang
beber. Ia hanya satu jenis. Keberadaannya pun berbeda dengan jenis wayang
lainnya. Ia tidak mengalami perkembangan yang sinambung hingga kini. Wayang
yang terbuat dari bahan kayu terdiri atas dua jenis yang berbeda. Pertama,
wayang yang lebih mirip dengan boneka kayu, terbuat dari kayu bulat-torak.
Wayang ini biasa dikenal dengan sebutan wayang golek. Nama jenis wayang ini
bermacam-macam, antara lain wayang golek purwa, wayang pakuan, wayang elung
(Sunda), wayang cepak (Sunda-Jawa), dan wayang golek menak (Jawa). Wayang
dangkluk (Bali) merupakan jenis wayang yang memilki kekhususan dalam bentuk dan
cara memainkannya. Bentuknya seperti golek tetapi tidak bergagang (gapit,
campurit).
Kedua, wayang yang
lebih mirip dengan wayang kulit, dibuat dari kayu pipih. Lengannya (atas dan
bawah) dibuat dari bahan kulit tebal, kulit kerbau. Jenis wayang ini disebut
wayang klithik. Wayang kayu ini, khususnya jenis golek, dibentuk dengan cara
diraut dan diukir.
Bagian kepala merupakan
unsur pokok pada golek. Ada istilah yang biasa digunakan dalam bahasa Sunda
tentang cara menafsir nama-nama tertentu, yaitu kirata (berarti dikira-kira
tapi nyata). Kata golek, misalnya, di-kirata-kan sebagai ugal-egol ulak-olek
(bergerak seperti menari). Kepala dan lengan golek termasuk ke dalam bagian
yang bisa di-ugal-egol dan di-ulak-olek. Hiasan kepala, selain diukir dengan
pisau raut juga diberi warna.
Wayang Golek
Kehadiran Golek
Golek memiliki sifat pejal.
Penikmatan bentuknya sama seperti menikmati arca, boneka, atau benda-benda
trimatra lainnya. Kesempurnaan bentuknya bisa dicerap baik dari arah depan,
samping, maupun belakang. Ia merupakan boneka tiruan rupa manusia (ikonografi),
dibuat dari bahan kayu bulat-torak untuk mempertunjukkan sebuah lakon. Dalam
pementasan cerita, ia “dihidupkan” oleh seorang dalang yang sekaligus berperan
sebagai sutradara dan pemberi watak atau ekspresi tokoh golek melalui sabetan
(gerak) dan antawacana (dialog).
Disebutkan oleh
sejumlah penulis bahwa menjelang akhir sebuah pertunjukan wayang kulit, dalang
selalu menampilkan tarian dengan menggunakan boneka golek. Kata golek dalam
bahasa Jawa berarti mencari (nggoleki). Penampilan golek ini mengandung maksud
agar setelah penonton usai mengikuti lakon dari awal hingga akhir, mereka bisa
nggoleki atau mencari inti pelajaran yang bermanfaat, yang tersirat dalam
pertunjukan (Amir, 1991; Wibisono, 1974). Bentuk boneka golek yang digunakan
adalah golek wanita, tetapi tidak diambil dari salah satu tokoh yang ada dalam
cerita wayang golek (Yudoseputro, 1994).
Menurut pendapat Elan
(1994) dan Yudoseputro (1994), pada pertumbuhan awal, bagian lengan wayang
kulit masih menempel pada tubuhnya. Model wayang kulit tersebut masih bisa
dilihat pada jenis wayang yang menggambarkan tokoh dewa. Hingga masa kerajaan
Demak, keadaan itu masih terus dipertahankan.
Beberapa catatan,
khususnya tentang wayang golek, yang bisa dikemukakan di sini, antara lain yang
ditulis oleh Salmun (1986).
“Pada tahun 1583 M
Sunan Kudus mendapat akal sehingga wayang dapat dimainkan pada siang hari yaitu
dengan cara membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek. Dengan
adanya wayang golek itulah, maka wayang dapat dimainkan pada siang hari.”
Sejalan dengan
penjelasan Salmun, Ismunandar (1988) mengemukakan:
“Pada awal abad ke-16,
Kudus membuat bangun „wayang purwo. baru, mengambil cerita-cerita Menak
(berjumlah tujuh puluh buah), diiringi gamelan Salendro, pertunjukkan diadakan
di waktu siang, tidak memakai kelir, hanya memakai „plangkan. (tempat
meletakkan wayang golek yang terbuat dari kayu). Bentuk wayang seperti „boneka
atau golek. tetapi menyerupai „wayang., hidungnya tajam, tangannya kecil-kecil
panjang. Jadi merupakan campuran atau kombinasi wayang kulit dan arca. Wayang
ini disebut “wayang golek”
Kedua penjelasan
tersebut menunjukkan bahwa golek yang pertama dipertunjukkan secara utuh,
lengkap dengan tokoh-tokoh dan ceritanya, tidak sebagai golek pelengkap
pertunjukkan wayang kulit, adalah golek dengan cerita Raja Menak. Awal abad
ke-19, di pusat kerajaan di Jawa Tengah, bangkit gairah mengembangkan bidang
sastra. Di samping muncul karya-karya sastra yang baru, seni pedalangan menjadi
bidang garapan dalang-dalang istana. Pada masa ini, lahir pula pembakuan
susunan pergelaran, bahasa pedalangan, lakon-lakon, gending pengiring, serta
aspek-aspek wayang lainnya (Wibisono, 1974).
Selain wayang-wayang
dengan format pertunjukan yang sudah biasa ditemui, kita pun menemukan forma-format
pementasan yang baru. Wayang Sandosa adalah sebuah format pertunjukan wayang
berbahasa Indonesia yang diciptakan sekitar tahun 1980-an di STSI Surakarta.
Tampilan visualnya kompleks tapi unik (penonton hanya melihat bayangan pada
layar dengan ukuran ± 7 x 3,5 m2 dengan peraga wayang berjumlah 6-10 orang). Di
sini, dalang dalam pengertian konvensional kurang atau tidak berperan sama
sekali. Sebaliknya, dalang berperan sebagaimana seorang sutradara pada teater
modern. Dialog tokoh diisi oleh para penyulih suara, atau pemain teater.
Iringan musik pun tidak lagi sepenuhnya berpijak pada gamelan konvensional,
tetapi meramu berbagai unsur musical tradisi Nusantara dan berbagai kemungkinan
lainnya, guna kepentingan adegan. Durasi pementasannya pun tak lagi semalam
suntuk, tetapi cukup 2 jam, sebagaimana durasi teater atau film layar lebar
pada umumnya.
Sumber : http://wayangprabu.com/
0 kritik dan saran:
Posting Komentar