Kraton Kasunanan Surakarta
Kasunanan
Surakarta Hadiningrat (Nagari Surakarta Adiningrat) adalah sebuah kerajaan di
Jawa Tengah yang berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari perjanjian Giyanti 13
Februari 1755. Perjanjian antara VOC dengan pihak-pihak yang bersengketa di
Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi,
menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua wilayah kekuasaan yaitu
Surakarta dan Yogyakarta.
baca selengkapnya
Kasunanan
Surakarta umumnya tidak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram,
melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja
Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta yang bergelar Sunan (demikian pula
raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan) selalu menanda-tangani kontrak
politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.
Latar belakang
Kesultanan
Mataram yang runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibukotanya oleh
Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana II memegang
tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan
orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC
tahun 1742. Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura itu mengalami
keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati
Cakraningrat IV penguasa Madura barat yang merupakan sekutu VOC, namun
keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo,
kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota
kerajaan Mataram yang baru.
Bangunan
Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan
Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko
Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I),
bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van
Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu
dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745,
tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Nama "Surakarta"
diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini.
Pembangunan keraton ini menurut catatan[siapa?] menggunakan bahan kayu jati
dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri dan kayunya dihanyutkan melalui
Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745
(atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Berlakunya
Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat
pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwana III. Yogyakarta
menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Sultan
Hamengkubuwana I. Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan
pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun. Perjanjian
Salatiga 1757 memperkecil wilayah Kasunanan, dengan diberikannya wilayah
sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I).
Perkembangan
Kerajaan
Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan kemudian
dihadapkan pada pemberontakan yang besar karena Pangeran Mangkubumi adik
Pakubuwana II tahun 1746 yang meninggalkan keraton menggabungkan diri dengan
Raden Mas Said. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena
sakit tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC,
yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC lah yang dianggap
berhak melantik raja-raja keturunan Mataram.
Perjanjian Giyanti dan Salatiga
Pada
tanggal 13 Februari 1755 pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil
mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden
Mas Said yang tidak mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan
Raden Mas Said. Perjanjian Giyanti yang ditanda-tangani oleh Pakubuwana III, Belanda,
dan Mangkubumi, melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta
Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi
sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana,
sedangkan raja Kasunanan Surakarta mengambil gelar Sunan Pakubuwana. Seiring
dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwana
kemudian lebih terkenal dengan nama Kasultanan Yogyakarta, sedang negeri
Mataram yang dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta.
Selanjutnya
wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang, karena Perjanjian Salatiga 17
Maret 1757 menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka
dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yang disebut dengan nama Praja
Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara.
Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi setelah usainya Perang Diponegoro
pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan kepada Belanda
sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.
Era Indonesia
Terdapat pendapat yang menilai
bahwa pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII gagal mengambil peran penting dan
memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia. Bahkan muncul rumor bahwa para
bangsawan Surakarta sejak dahulu merupakan sekutu pemerintah Belanda, sehingga
rakyat merasa tidak percaya dan memberontak terhadap kekuasaan Kasunanan. Dalam buku
seri Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jenderal Abdul Haris Nasution menulis bahwa raja-raja Surakarta
membelot dan mengkhianati Indonesia saat terjadi Agresi Militer Belanda II tahun 1948-1949. Bahkan pihak TNI
sudah menyiapkan Kolonel Djatikoesoemo (KSAD pertama), putra Paku Buwono X,
untuk diangkat menjadi Susuhunan yang baru dan Letkol Suryo Sularso untuk diangkat menjadi Mangku Negara
yang baru. Namun rakyat dan tentara semakin ingin menghapuskan monarki sama
sekali. Akhirnya Mayor Akhmadi, penguasa militer kota Surakarta, hanya diberi tugas
untuk langsung berhubungan dengan istana-istana monarki Surakarta. Kedua raja
diminta untuk secara tegas memihak Republik. Jika raja-raja tersebut menolak,
akan diambil tindakan sesuai Instruksi Non Koperasi.
Meskipun gagal secara politik, namun
Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh
nasional, misalnya Gus Dur, tetap
menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa. Pakubuwana XII wafat
pada tanggal 11 Juni 2004, dan masa
pemerintahannya merupakan yang terlama di antara para raja-raja Kasunanan
terdahulu, yaitu sejak tahun 1945-2004.
Sepeninggal Pakubuwana XII, sempat
terjadi perebutan tahta antara Pangeran Hangabehi dangan Pangeran Tejowulan, yang masing-masing
menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII;
dua-duanya mengklaim pemangku tahta yang sah, dan masing-masing
menyelenggarakan acara pemakaman ayahnya secara terpisah. Akan tetapi,
konsensus keluarga telah mengakui bahwa Hangabehi yang diberi gelar SISKS
Pakubuwana XIII.
Saat ini, konflik dua Raja Kembar telah
usai setelah Pangeran Tejowulan melemparkan tahta Pakubuwana kepada kakaknya
yakni Pangeran Hangabehi dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang di prakarsai oleh
Pemerintah Kota Surakarta bersama DPR-RI, dan Pangeran
Tejowulan sendiri menjadi mahapatih (pepatih dalem) dengan gelar KGPHPA
(Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung).
Sumber
: http://id.wikipedia.org/
0 kritik dan saran:
Posting Komentar